Kamis, 11 Februari 2010

" Di Mana Allah ? "

        Kenapa kita yang kadang di karuniai kecukupan, berilmu ( anak kuliahan ), berkecimpung di dunia akademisi,  bergelar intelektual, tapi kadang lupa segalanya dan berbuat semaunya seakan Tuhan tidak ada, padahal Allah Maha Melihat dan Mengetahui
       padang pasir membentang luas . Matahari bersinar menyala seolah hendakk membakar ubun - ubun kepala.Di sebuah jalan yang membelah padang pasir, tampak seorang yang berjubah putih sedang berjalan kelelahan. Orang itu tak lain adalah Abdullah bin Umar R.A, salah seorang sahabat nabi Muhammad SAW, yang terkenal kealiman (tinggi ilmu) dan kezuhudannya (sederhana). Dia berjalan keluar dari Madinah menuju Makkah untuk beribadah di Baitullah.
Berkali - kali Abdullah bin Umar ra menghentikan langkahnya sesaat untuk meminum seteguk air perbekalannya. Namun sayang, kantong airnya telah kering kerontang . dia benar - benar kehausan. Dia melihat ke sekelilingnya, siapa tahu ada orang Badui atau pengembala yang bisa memberinya seteguk air penawar dahaga. Namun, sejauh mata memandang, yang dia temukan hanyalah warna kecoklatan samudera pasir.

      Dia tetap bersabar dan terus berjalan , sampai akhirnya matanya menangkap beberapa titik - titik hitam dan putih di kejauhan sana, di blik bukit pasir. Hantinya merasa lega, berkali - kali dia mengucapkan syukur alhamdulillah. Dia yakin, titik hitam dan putih itu adalah manusia. Abdullah terus melangkahkan kaki untuk mendekati titik hitam dan putih itu. Ketika sudah dekat, perkiraannya tidak meleset. Titik - titik hitam dan putih itu adalah seorang pengembalah dan kambing - kambingnya.

        Ketika Abdullah bin Umar ra sudah berada tak jauh dari pengembala itu, tiba - tiba terlintas dalam benaknya untuk menguji pengembala itu. Dia ingin tahu, apakah ajaran islam telah sampai ke tengah padang pasir yang terpencil jauh itu? Dia juga ingin tahu, apakah pengembala itu telah menerima ajaran suci yang di bawa Nabi Muhammad SAW?
        Setelah mengucapkan salam, Abdullah bin Umar berkata kepada pengembala yang masih bocah itu, "hai bocah, aku ingin membeli seekor kambing yang kau gembalakan ini. Bekalku sudah habis."
"Maaf tuan, aku hanyalah seorang budak yang bertugas mengembalakan kambing - kambing ini. Aku tidak bisa menjualnya. Ia bukan milikku tapi milik majikanku. Aku tidak di beri wewenang untuk menjualnya," jawab pengembala kambing itu.

"Ah, itu masalah yang mudah. Begini kau jual seekor saja kambing gembalamu padaku. Kambing yang kau jaga ini sangat banyak, tentu sangat sulit bagi pemiliknya untuk menghitung jumlahnya. Atau, kalau pun dia tahu ada seekor kambingnya tidak ada, bilang saja telah di mangsa serigala padang pasir. Mudah sekali bukan ? Kau pun bisa membawa uangnya," bujuk Abdullah bin Umar ra dengan wajah yang tampak serius.
"Lalu, di mana Allah? Pemilik kambing ini memang tidak akan tahu dan bisa di bohongi, tetapi ada Dzat yang Maha Tahu, yang pasti melihat dan mengetahui apa yang kita lakukan. Apa kau kira Allah tidak ada?" jawab pengembala itu mantap.

         Sungguh, jawaban itu membuat Abdullah bin Umar ra tersentak kaget. "Aku tidak di beri kuasa oleh pemilik kambing ini untuk menjualnya. Aku hanya di perbolehkan mengembalakannya dan meminum air susunya ketika aku membutuhkannya dan memberi minum para musafir yang kehausan," sambung pengembala itu. Dia berkata begitu sambil berjongkok, memerah susu seekor kambing ke dalam sebuah mangkok. Begitu penuh berisi susu, dia memberikannya pada Abdullah bin Umar ra .
"Minumlah tuan, kulihat anda kehausan. JIka masih kurang, bisa tambah. Jangan kuatir, susu ini halal. Allah tahu itu halal sebaba pemiliknya menyuruh aku untuk memberi minum musafir yang membutuhkan,"kata pengembala itu dengan tutur kata yang halus dan ramah.
Abdullah bin umar ra menerima mangkuk berisi susu itu dengan hati terharu. Dia minum sampai rasa hausnya hilang. Setelah itu, dia mohon diri.
Di jalan, dia tidak bisa menyembunyikan tangisnya, teringat kata - kata pengembala itu, "Di mana Allah ? Apakah kau kira Allah tidak ada?"
Abdullah bin Umar menangis mengingat bahwa seorang pengembala kambing di tengah padang pasir yang pakaiannya kumal, ternyata memiliki rasa takwa yang begitu dalam. Dia memiliki kejujuran yang tinggi. Hatinya menyinarkan keimanan. Akhlaknya sunggguh mulia. Ajaran Rasulullah saw telah terpatri dalam jiwanya. Abdullah bin Umar ra terus melangkahkan kaki sambil bercucuran air mata.
Lalu, Abdullah bin Umar mencari kampung terdekat dan menanyakan, siapakah tuan dari sang pengembala kambing itu ? Begitu berjumpa, Abdullah bin Umar langsung membeli budak itu dan langsung memerdekakannya.

      Seorang manusia yang jujur dan memiliki rasa ketakwaan kepada Allah yang begitu tinggi tidaklah sepatutnya menjadi hamba sahaya manusia. Dia hanya pantas menjadi hamba Allah SWT.

Nah pembaca yang budiman, Jika budak pengembala kumuh saja bisa benar merasakan kehadiran  Allah yang terus mengawasinya di tengah kemiskinannya, Kenapa kita yang kadang di karuniai kecukupan, berilmu ( anak kuliahan ), berkecimpung di dunia akademisi,  bergelar intelektual, tapi kadang lupa segalanya dan berbuat semaunya seakan Tuhan tidak ada, padahal Allah Maha Melihat dan Mengetahui. Tanya kenapa ??????????

sumber : Ketika cinta berbuah surga, oleh Habiburrahman El Shirazy ( penulis buku laris ayat - ayat cinta dan  ketika cinta bertasbih )

Artikel Terkait:

0 komentar: