“Barang siapa di pagi hari mengeluhkan kesulitan hidupnya (kepada orang lain), berarti seakan – akan dia mengeluhkan Rabbnya.
Barang siapa di pagi hari bersedih karena urusan duniawinya. Berarti sungguh di pagi itu dia tidak puas dengan ketetapan Allah.
Barang siapa menghormati seseorang karena kekayannya, sungguh telah lenyaplah duapertiga agamanya. “(Hadits dikutip dari Kitab Nashaihul –‘Ibad).
Silih berganti kebahagiaan dan kesusahan itu dipergilirkan kepada kehidupan manusia. Sekali waktu ia Berjaya dengan kelapangan rizqi dan kemasyhuran nama. Pada kali lain di sekian waktu kemudian ia menjalani kehidupan yang penuh kepapaan. Itulah yang dialami oleh Qarun. Pada saat ia memperoleh limpahan harta yang luar biasa, ia tak mampu mensikapinya dengan benar sehingga tumbuh dalam hatinya kesombongan. Pada giliran berikutnya ia harus menanggung kesengsaraan karena siksa Allah Swt. Na’udzubillahi min dzalika !
Pada dasarnya ujian dan cobaan itu beragam bentuknya. Kelapangan rizqi sebenarnya sama saja dengan kapapaan. Keburukan rupa (maaf)sesungguhnya juga sama dengan keelokan wajah kita. Bagi orang – orang yang beriman, baik ataukah buruk, mudah ataukah sukar, sakit mapun sehat, keduanya adalah ujian yang harus di sikapi dengan benar agar tidak menggoyahkan keimanan.
Jadi yang penting bukanlah jenis cobaan atau ujiannya, tetapi yang paling penting adalah bagaimana kita mensikapinya dengan benar. Insya Allah dengan mensikapinya secara benar, hidup kita akan terasa mudah nan ringan. Nabi Ibrahim As pernah memberikan nasihat, “…..Aku tidak pernah mengkhawatirkan sesuatu (rizqi) yang urusannya telah ditanggung oleh Allah….” (Nashaihul – ‘Ibad).
Itulah urgensinya nasihat Rasulullah Saw berikut ini :
“Barangsiapa di pagi hari mengeluhkan kesulitan hidupnya (kepada orang lain), berarti seakan – akan dia mengeluhkan Rabbnya. Barangsiapa di pagi hari bersedih karena urusan duniawinya, berarti sungguh dipagi itu dia tidak puas dengan ketetapan Allah. Barangsiapa menghormati seseorang karena kekayaannya, sungguh telah lenyaplah dua pertiga agamanya. “(Hadits dikutip dari Kitab Nashaihul –‘Ibad)”.
1. …berarti seakan – akan dia mengeluhkan rabbnya
Apabila kita mengeluhkan kesulitan hidup kita kepada orang lain adalah perilaku yang tidak pantas kilakukan orang beriman. Itu pertanda bahwa kita tidak rela atas ang tidak pantas delakukan orang beriman. Itu pertanda bahwa kita tidak rela atas pembagian dan pemberian allah ‘Azza wa Jalla kepada kita. Mengeluhkan keadaan kita kepada orang lain itu berarti (ibarat) mengadukan Allah Swt kepada makhluk (orang lain). Kita tidak belah melakukannya. Kita dilarang mengeluh kedapa orang lain mengeani kadaan diri an kelarga kita. Kita hanya di bolehkan syikayah (mengadu ) kepada Allah Swt. Kita dianjukan bekeluh kesah dan mengadu sesuka kita kepada Allah Swt saja. Mengapa demikian ? Ya, karena adalah bagian dari bentuk do’a kita kepada-Nya.
Rasulullah Saw pernah bersabda, “Maukah aku ajarkan kepada kalian beberapa kalimat yang diucapkan oleh Nabi Musa ketika menyeberangi laut bersama Bani Israil ? ”Kami (para sahabat) menjawab, “Tentu saja mau, Ya Rasulullah ! “Beliau besabda, “Bacalah, “Allahumma lakal hamdu wailaikal musytakaa, wa antaal musta’aan wa laa haula wa laa quwwata illa billaahil ‘aliyyil ‘azhiim (Ya Allah, segala puji hanya bagi-Mu, hanya kepada-Mu lah kami memohon pertolongan., Tiada daya (untuk menjauhi ma’siat ) dan tiada keuatan (untuk tha’at ), kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung). “(THR. ‘Abdullah bin Mas’ud Ra.)
Al-A’masy berkata, “Sejak aku mendengar do’a tersebut dari saudara kandungku Al-Asady Al-Kufy yang menerima do’a tersebut dari ‘Abdullah Ra. Maka aku tidak pernah meninggalkannya.
Al-A’masy juga mengataakan, “Aku pernah bermimpi di datangi seseorang, Dia berkata, “Wahai Sulaiman tambahkanlah pada do’a tersebut kalimat ini, “Wa nasta’iinuka ‘alaa fasaadin fiinaa wanas-alukashalaaha amrinaa kulihii (Dan kami memohon pertologanan-Mu atas segala kelulitan yang ada pada kami dan kami memohon kepada- untuk diberi kebaikan dalam segala urusan kami.”
2. … Berarti sungguh di pagi itu dia tidak pusan dengan ketetapan Allah
Apabila di penghujung hari (pagi) kita sudah memulainya dengan kesedihan apalagi kesedihan itu adalah desedihan perkara duniawi, maka alangkah tidak bersyukurnya diri kita. Orang yang memulai hari – harinya dengan kesedihan atas keadaan duniawinya menggambarkan rasa bencinya kepada Rabbnya. Ya, ia tidak rela terhadap ketetapan Allah atas dirinya. Ia tidak dapat bersikap sabar atas keadaan yang tidak disukainya. Ia tidak terima dengan qadar-nya. Padalah semua peristiwa dalam semesta ini berjalan atas Qadha’ dan qadar Allah Swt.
Ingatlah nasihat ‘Abdullah bin Mas’ud Ra, “Betapa banyak manusia yang di hukum secara berangsur – angsur melalui kesenangan yang diberikan kepadanya…”
Jadi bergembiralah wahai manusia karena Allah Swt tidak meletakkan kebahaiaan itu pada harta kekayaanm, kedudukan, dan kemuliaan duniawi lainnya. Carilah kebagaiaan kakiki. Dan bukanlah dunia ini memang ukan akhir perjalanan kita ? Manusai yang berbagaia adalah mereka yang meiliki hal – hal berikut ini :
• Hati yang meyakini bahwa Allah senantiasa bersamanya,
• Jiwa raga yang sabar, dan
• Sikap qana’ah dengan apa yang dimiliki. Qana’ah adalah menerima pemberian Allah dengan hati ridha dan tidak risau dengan apa yang lepas dari tangan-Nya (tidak dimilikinya)
3. . . . sungguh telah lenyaolah dua pertiga agamanya
Sebagai orang yang beriman, kita sangat faham bahwa ukuran kemuliaan seorang manusia bukanlah pada harta kekayaanya. Seseorang itu menjadi mulia karena dejarat kesalihannya dan ketinggian ilmunya. Nah bila manusia mulai menempatkan harta kekayaan di atas yang lainnya, maka itu adalah alamat akan datangnya bencana Bukankah bencana kemanusiaan akan segera datang apabila kita telah mulai menghina dan melecehkan kebajikan , keshalihan, dan ilmu ?
Maka, muliakanlah dan hormatilah seseorang Karena ketinggian ilmunya dan kemuliaan pribadinya yang shalih serta berakhlak mulia. Lalu camkanlah dua nasihat orang mulia berikut ini.
Yahya bin Mu’adz mengatakan, “ Barangsiapa dapat melepaskan dunia seluruhnya. Maka ia telah mengambil akhirat seluruhnya. Barangsiapa mengambil dunai seluruhnya, berarti ia telah melepaskan akhirat seluruhnya. Mencintai akhirat manjadi sebab melepaskan dunia, tidak menyukai dunia menjadi sebab mencintai akhirat”
Ibrahim bin Adham (Abu Ishaq Ibrahim bin Mansyur, putra raja dari negeri Balkan ) memberikan tiga jawaban saat ditanya sebab dirinya menjadi zuhud,
• Aku melihat kuburan adalah alam yang begitu mengerikan sedangkan aku tidak punya teman yang dapat menghilankan rasa takutku.
• Aku melihat perjalananku sangat jauh, sedangkan aku tidak punya bekal yang dapat mengantarkanku ke tujuan
• Aku melihat Rabb Yang Maha Perkasa ssebagai hakim, sedangkan aku tidak punya alasan untuk membela diriku di hadapan-Nya.”
Wallahu A’lam bis shawaab
Disadur dari kitab Nashaihul ibad karangan Muhammad Nawawi bin Umar Al Jawi
0 komentar:
Posting Komentar